Mu'tazilah adalah salah satu sekte teologi yang muncul di awal sejarah Islam, yang dikenal dengan pemikirannya yang rasionalis dan sering dianggap sebagai kelompok yang berusaha menyeimbangkan antara agama dan akal. Sekte ini menekankan pentingnya akal dalam memahami ajaran agama dan memiliki pandangan teologis yang berbeda dengan mayoritas umat Islam.
Salah satu ciri khas ajaran Mu'tazilah adalah konsep Al-Ushul al-Khamsa atau lima pokok ajaran, yang menjadi landasan utama dalam pemikiran mereka. Meskipun pemikiran ini banyak diikuti pada masanya, banyak ulama dan ahli teologi Islam yang menentang ajaran Mu'tazilah karena dianggap sesat dalam beberapa hal yang menyimpang dari akidah Islam yang sahih.
Artikel ini akan membahas lima pokok ajaran Mu'tazilah, yang dikenal dengan nama Al-Ushul al-Khamsa, serta meneliti kesesatan yang terkandung dalam ajaran tersebut dari perspektif Ahlus Sunnah Wal Jamaah, sebagai pandangan mayoritas umat Islam.
1. Tauhid (Monoteisme Mutlak)
Ajaran Mu'tazilah
Dalam pemikiran Mu'tazilah, tauhid bukan hanya sekadar pengakuan terhadap keesaan Allah, tetapi mereka menekankan bahwa Allah harus dipahami sebagai satu-satunya yang memiliki hak untuk berbuat sesuai dengan kehendak-Nya, tanpa ada campur tangan makhluk. Bagi mereka, konsep tauhid mengharuskan adanya pemahaman yang jelas bahwa Allah tidak boleh diserupakan dengan ciptaan-Nya. Oleh karena itu, mereka menolak tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk) dalam segala bentuknya.
Namun, yang menjadi pokok perbedaan dengan pandangan mayoritas umat Islam adalah bahwa Mu'tazilah memandang Al-Qur'an sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah, bukan kalam abadi. Mereka berpendapat bahwa Al-Qur'an, meskipun merupakan firman Allah, bukanlah sifat Allah yang kekal, melainkan sesuatu yang diciptakan oleh-Nya. Ini merupakan salah satu ajaran yang dianggap sesat oleh Ahlus Sunnah, karena bertentangan dengan keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah yang abadi dan tidak dapat disamakan dengan makhluk-Nya.
Kesesatan dalam Pandangan Ahlus Sunnah
Pandangan Mu'tazilah tentang tauhid yang menganggap Al-Qur'an sebagai makhluk bertentangan dengan pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang berpegang teguh pada keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah yang abadi dan tidak diciptakan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr: 9).
Ini adalah bukti bahwa Al-Qur'an adalah kalam yang tidak pernah diciptakan dan dilindungi oleh Allah.
2. Adl (Keadilan Allah)
Ajaran Mu'tazilah
Prinsip adl dalam ajaran Mu'tazilah adalah keyakinan bahwa Allah adalah Maha Adil dan tidak mungkin berbuat zalim. Dalam pemikiran mereka, segala tindakan Allah harus selalu berdasarkan prinsip keadilan, dan tidak ada tempat bagi ketidakadilan dalam sistem Allah. Mereka menegaskan bahwa Allah tidak akan menghukum seseorang tanpa alasan yang adil, dan bahkan mereka menolak konsep takdir yang mengandung unsur ketidakadilan bagi umat manusia.
Mu'tazilah menganggap bahwa manusia memiliki kebebasan penuh untuk memilih perbuatan mereka (free will), sehingga mereka tidak dapat menyalahkan Allah atas perbuatan mereka, meskipun Allah adalah yang menciptakan segala sesuatu. Karena itu, mereka menegaskan bahwa tidak ada takdir mutlak dalam pandangan mereka, dan setiap tindakan manusia adalah hasil dari pilihan bebasnya.
Kesesatan dalam Pandangan Ahlus Sunnah
Pandangan ini dianggap sesat oleh Ahlus Sunnah Wal Jamaah, karena bertentangan dengan ajaran Islam yang mengakui bahwa Allah adalah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, termasuk takdir. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur'an, "Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di bumi dan di langit kecuali sudah tertulis dalam kitab (lauh mahfuzh)." (QS. Al-Hadid: 22).
Bagi Ahlus Sunnah, takdir adalah bagian dari keimanan yang tidak dapat dipisahkan. Keadilan Allah tidak berarti bahwa Allah harus memberikan kebebasan penuh kepada manusia untuk memilih tanpa kendali, tetapi bahwa setiap keputusan Allah adalah berdasarkan hikmah dan keadilan yang tidak bisa disangkal oleh akal manusia.
3. Wa’d wa Wa’id (Janji dan Ancaman Allah)
Ajaran Mu'tazilah
Wa’d wa Wa’id dalam ajaran Mu'tazilah merujuk pada keyakinan mereka bahwa Allah selalu menepati janji-Nya untuk memberikan pahala bagi orang yang beriman dan beramal saleh, serta memberikan hukuman bagi orang yang berdosa dan kafir. Mereka juga percaya bahwa tidak ada hukuman tanpa sebab, dan bahwa setiap orang yang melakukan dosa besar, jika tidak bertaubat, akan mendapat azab di akhirat.
Namun, Mu'tazilah menekankan bahwa hukuman dan pahala ini harus berdasarkan keadilan yang mutlak, dan mereka menolak adanya kesalahan atau dosa yang dimaafkan oleh Allah tanpa adanya pertimbangan yang tepat. Mereka berpendapat bahwa Allah tidak boleh memaafkan dosa-dosa besar begitu saja.
Kesesatan dalam Pandangan Ahlus Sunnah
Pandangan ini dianggap sesat oleh Ahlus Sunnah Wal Jamaah karena menafikan rahmat Allah yang tak terhingga. Dalam pandangan Ahlus Sunnah, Allah memiliki hak prerogatif untuk mengampuni dosa siapa pun yang Dia kehendaki, tanpa terikat oleh perbuatan makhluk-Nya. Allah berfirman dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang menyekutukan-Nya, tetapi Dia akan mengampuni dosa selain itu, bagi siapa yang Dia kehendaki." (QS. An-Nisa: 48).
Ini menunjukkan bahwa Allah memiliki hak untuk memberi ampunan sesuai dengan kehendak-Nya, bahkan untuk dosa-dosa besar, tanpa harus terikat pada sistem hukum yang diterapkan oleh manusia.
4. Manzilah Bayna Manzilatain (Posisi di Antara Dua Posisi)
Ajaran Mu'tazilah
Menurut ajaran Mu'tazilah, orang yang melakukan dosa besar (fasiq) tidak bisa disebut sebagai kafir maupun mu'min. Mereka berada di antara dua posisi, yaitu di luar kategori orang beriman tetapi juga tidak sepenuhnya dianggap kafir. Hal ini berkaitan dengan pandangan mereka bahwa iman tidak hanya berdasarkan perkataan, tetapi juga amal perbuatan. Oleh karena itu, orang yang melakukan dosa besar dianggap berada dalam posisi tengah.
Kesesatan dalam Pandangan Ahlus Sunnah
Ahlus Sunnah Wal Jamaah berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar, jika ia masih beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetap disebut sebagai muslim dan tidak boleh dikeluarkan dari agama Islam, meskipun ia akan menerima hukuman di akhirat jika tidak bertaubat. Konsep iman dalam Ahlus Sunnah adalah bahwa seseorang yang mengucapkan syahadat dan melakukan amal saleh tetap dianggap sebagai muslim, meskipun ia melakukan dosa besar.
5. Amr bil Ma’ruf wa Nahy anil Munkar (Perintah untuk Berbuat Kebaikan dan Larangan dari Kemungkaran)
Ajaran Mu'tazilah
Mu'tazilah sangat menekankan pada prinsip amr bil ma’ruf wa nahy anil munkar, yaitu kewajiban umat Islam untuk memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran. Mereka percaya bahwa setiap individu wajib bertanggung jawab untuk memperbaiki masyarakat dengan cara memperjuangkan keadilan dan menentang kedzaliman.
Kesesatan dalam Pandangan Ahlus Sunnah
Ahlus Sunnah juga setuju dengan kewajiban amr bil ma’ruf wa nahy anil munkar, tetapi mereka menekankan bahwa prinsip ini harus dijalankan dengan hikmah, kesabaran, dan mengikuti tuntunan syariat. Dalam Ahlus Sunnah, tidak diperbolehkan untuk memberontak terhadap penguasa atau menciptakan kegaduhan di masyarakat tanpa alasan yang sah secara syariat.
Kesimpulan
Al-Ushul al-Khamsa atau lima pokok ajaran dari Mu'tazilah adalah dasar pemikiran mereka yang didasari oleh rasionalitas dan kebebasan akal. Namun, banyak ajaran yang dikembangkan oleh sekte ini dianggap sesat oleh mayoritas umat Islam, terutama Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Beberapa pokok ajaran seperti tauhid, keadilan Allah, janji dan ancaman Allah, posisi orang yang melakukan dosa besar, dan perintah untuk berbuat kebaikan seringkali menimbulkan perbedaan pandangan yang tajam, baik dari segi akidah maupun praktiknya dalam masyarakat.
Oleh karena itu, sangat penting untuk kembali pada pemahaman yang benar sesuai dengan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang lebih mengutamakan keimanan, hikmah, dan rahmat Allah dalam menghadapi berbagai perbedaan teologis ini.
Posting Komentar