Perayaan Natal dan Tahun Baru Masehi adalah dua
perayaan yang sangat dikenal di dunia Barat dan kini juga dirayakan di banyak
negara, termasuk negara-negara dengan mayoritas Muslim. Setiap tahun, umat
Kristen merayakan kelahiran Yesus Kristus pada tanggal 25 Desember, sementara
Tahun Baru Masehi dirayakan pada tanggal 1 Januari. Namun, seiring dengan
globalisasi, perayaan ini semakin meluas dan banyak diperingati di berbagai
kalangan masyarakat.
Bagi umat Islam, muncul pertanyaan yang sering diajukan:
Apakah diperbolehkan bagi umat Islam untuk ikut merayakan Natal dan Tahun
Baru Masehi? Dalam artikel ini, kita akan membahas sejarah asal muasal perayaan
Natal dan Tahun Baru Masehi, serta pandangan ulama terkait hukum ikut
merayakan kedua perayaan tersebut bagi umat Islam, dengan merujuk pada
dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadis.
1. Sejarah Asal Muasal Perayaan Natal
Perayaan Natal pada tanggal 25 Desember merupakan
hari peringatan kelahiran Yesus Kristus yang diyakini oleh umat Kristen
sebagai Anak Tuhan dan Juru Selamat. Namun, asal-usul perayaan ini tidak
sepenuhnya berkaitan dengan kelahiran Yesus, melainkan dipengaruhi oleh
tradisi pra-Kristen dan pengaruh budaya Romawi.
Asal Usul Natal dalam Tradisi Kristen
1. Tanggal 25 Desember:
Tanggal 25 Desember dipilih oleh gereja Kristen pada abad ke-4,
sekitar tahun 336 M, pada masa pemerintahan Kaisar Romawi Konstantinus I.
Sebelumnya, umat Kristen tidak merayakan kelahiran Yesus, karena mereka lebih
fokus pada perayaan kematian dan kebangkitan-Nya. Pemilihan tanggal 25
Desember berkaitan dengan perayaan Sol Invictus, yaitu perayaan dewa
matahari dalam kepercayaan Romawi yang jatuh pada tanggal tersebut. Beberapa
sejarawan berpendapat bahwa gereja Kristen memilih tanggal ini untuk
menggantikan festival pagan tersebut, dengan tujuan untuk memudahkan
penerimaan agama Kristen di kalangan masyarakat Romawi.
2. Pengaruh Tradisi Pagan:
Banyak elemen dalam perayaan Natal yang berasal dari
tradisi pagan, seperti pohon Natal (yang berasal dari tradisi menghias pohon
untuk merayakan musim dingin), perayaan solstis musim dingin, dan bahkan
konsep Santa Claus yang berakar pada tokoh Sinterklas, seorang uskup yang
dihormati di Eropa.
3. Perkembangan Perayaan Natal:
Seiring berjalannya waktu, perayaan Natal berkembang menjadi
tradisi keagamaan dan budaya di banyak negara. Bagi umat Kristen, Natal adalah
saat untuk merayakan kelahiran Yesus Kristus sebagai bagian dari keyakinan
mereka tentang penebusan dosa umat manusia.
2. Sejarah Asal Muasal Perayaan Tahun Baru Masehi
Perayaan Tahun Baru Masehi dirayakan pada tanggal 1 Januari dan merupakan
bagian dari kalender Gregorian yang digunakan di sebagian besar dunia saat
ini. Tahun Baru ini menandakan pergantian tahun dalam sistem penanggalan
Masehi yang digunakan oleh umat Kristen dan diadopsi oleh banyak negara di
seluruh dunia.
Asal Usul Tahun Baru Masehi
1. Kalender Julian dan Gregorian:
Tahun Baru Masehi berasal dari kalender Julian, yang
diperkenalkan oleh Julius Caesar pada 46 SM. Kalender Julian ini menyesuaikan
siklus tahun dengan pergerakan matahari. Namun, kalender Julian mengalami
kesalahan perhitungan dalam panjang tahun, yang menyebabkan pergeseran
musiman. Oleh karena itu, pada tahun 1582, Paus Gregorius XIII memperkenalkan kalender Gregorian untuk memperbaiki perhitungan tersebut,
yang kini digunakan di seluruh dunia.
2. Perayaan Tahun Baru:
Perayaan Tahun Baru sendiri memiliki akar budaya yang lebih tua,
yang berasal dari berbagai tradisi kuno seperti Mesopotamia dan Romawi.
Pada masa Romawi kuno, Tahun Baru dirayakan pada tanggal 1 Januari untuk
menghormati Janus, dewa pintu gerbang dan permulaan. Perayaan ini kemudian
diadopsi oleh umat Kristen sebagai bagian dari perhitungan kalender Masehi.
3. Perkembangan Tradisi Tahun Baru:
Perayaan Tahun Baru yang melibatkan pesta, kembang api, dan
perayaan lainnya berkembang pesat di dunia modern. Tahun Baru Masehi bukan
hanya dipandang sebagai perayaan agama, tetapi juga sebagai ajang untuk
merayakan awal tahun baru dalam konteks budaya dan sosial.
3. Pandangan Ulama tentang Merayakan Natal dan Tahun Baru Masehi dalam Islam
Bagi umat Islam, ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan ketika membahas apakah diperbolehkan merayakan Natal atau
Tahun Baru Masehi. Islam sangat menekankan agar umatnya mengikuti ajaran yang
sudah jelas dalam Al-Qur'an dan hadis, serta menjaga identitas dan aqidah
Islam.
Pandangan Tentang Merayakan Natal
Perayaan Natal yang berhubungan dengan kelahiran Yesus Kristus sebagai Anak
Tuhan bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam. Dalam Islam, Yesus
(Isa AS) adalah seorang nabi yang sangat dihormati, tetapi dia bukanlah Tuhan
atau Anak Tuhan.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
لَقَدْ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓا۟ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلْمَسِيحُ ٱبْنُ مَرْيَمَ ۖ وَقَالَ ٱلْمَسِيحُ يَٰبَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ رَبِّى وَرَبَّكُمْ ۖ إِنَّهُۥ مَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ ٱلْجَنَّةَ وَمَأْوَىٰهُ ٱلنَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
Artinya: "Sesungguhnya, telah kafirlah orang-orang yang berkata, 'Sesungguhnya
Allah itu adalah Mesias putra Maryam.'" (QS. Al-Ma'idah 5: 72)
Ulama sepakat bahwa merayakan Natal yang merupakan perayaan kelahiran Yesus
dalam konteks Kristen dapat mengarah pada syirik (penyekutuan Allah), yang
dilarang dalam Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan ikut
merayakan Natal, karena perayaan tersebut terkait dengan keyakinan yang
bertentangan dengan tauhid (keesaan Allah).
Pandangan Tentang Merayakan Tahun Baru Masehi
Perayaan Tahun Baru Masehi tidak memiliki kaitan
langsung dengan agama Kristen atau Islam. Namun, perayaan ini sering kali
melibatkan perayaan yang berlebihan, hiburan, dan aktivitas yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam, seperti pesta, minuman keras, atau perbuatan maksiat
lainnya.
Dalam Islam, setiap perayaan yang tidak memiliki dasar syariat atau yang dapat
mengarah pada perbuatan dosa harus dihindari. Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan
mereka." (HR. Abu Dawud)
Merayakan Tahun Baru Masehi bisa dianggap sebagai peniruan terhadap tradisi
non-Muslim yang tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam. Oleh karena itu,
banyak ulama yang berpendapat bahwa umat Islam tidak diperbolehkan untuk ikut
merayakan Tahun Baru Masehi.
Kesimpulan
Perayaan Natal dan Tahun Baru Masehi memiliki sejarah yang panjang dan berakar
pada tradisi keagamaan dan budaya non-Islam. Bagi umat Islam, merayakan kedua
perayaan tersebut tidak diperbolehkan, karena bertentangan dengan prinsip
dasar ajaran Islam, terutama dalam hal tauhid dan menjaga identitas
keislaman. Dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadis menunjukkan bahwa umat Islam
harus berhati-hati dalam terlibat dalam perayaan yang tidak memiliki dasar
syariat. Oleh karena itu, umat Islam disarankan untuk menghindari
perayaan-perayaan tersebut dan lebih fokus pada ibadah yang sesuai dengan
ajaran Islam.
Posting Komentar