Di artikel ini kembali akan kita rangkum rekaman kajian kitab al-muyassar oleh ustad sofyan chalid bin idham ruray. melanjutkan pembahasan kemarin tentang hukum puasa macamnya keutamaan dan hikmahnya, kali ini kita akan membahas syarat – syarat wajib puasa ramadhan.
apa yang dimaksud syarat wajib puasa.?
syarat wajib adalah hal – hal yang membuat seseorang menjadi wajibnya melaksanakan puasa. Apabila salah satu syarat ini tidak terpenuhi maka puasa ramadhan tidak diwajibkan bagi dirinya. Ada 6 syarat wajib puasa.
1. Islam
Tidak wajib dan tidak sah puasanya orang kafir, karena puasa adalah ibadah dan ibadah apapun tidaklah sah dikerjakan orang kafir.
Namun perlu dicatat tidak sah disini bermakna , mereka (orang kafir) berdosa karena meninggalkan puasa akan tetapi jika berpuasa tidak sah, karena kewajiban puasa adalah untuk seluruh manusia bukan hanya untuk muslim saja.
2. Baligh.
Syarat yang kedua adalah telah baligh, maka tidak wajib berpuasa anak yang belom baligh sampai baligh. Tanda seorang anak telah baligh adalah salah satu dari 4 keadaan, yaitu :
- Keluar mani dengan dengan disertai syahwat dalam keadaan sadar ataupun mimpi.
- Mencapai umur 15 tahun.
- Tumbuh bulu kemaluan.
- Sudah haidh untuk anak perempuan.
Akan tetapi tetap sah puasa anak yang belom baligh jika telah mumayyis yaitu usia 7 tahun. Dan sepatutnya orangtua memerintahkan anaknya untuk puasa sebagaimana sholat.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun! Dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun (jika mereka meninggalkan shalat)! Dan pisahkanlah tempat tidur mereka (antara anak laki-laki dan anak perempuan)”
Penjelasan lengkap hadits silahkan baca: https://almanhaj.or.id/32265-perintahkan-keluargamu-untuk-mendirikan-shalat.html
Imam Al Bukhari membawakan pula dalam kitab Shahihnya Bab “Puasanya anak kecil“. Lantas beliau membawakan hadits dari Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz. Ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang pada pagi hari di hari Asyura (10 Muharram) ke salah satu perkampungan Anshor, lantas beliau berkata,
مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ ، وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيَصُمْ
“Barangsiapa yang tidak berpuasa di pagi hari, maka hendaklah ia menyempurnakan sisa hari ini dengan berpuasa. Barangsiapa yang berpuasa di pagi harinya, hendaklah ia tetap berpuasa.” Ar Rubayyi’ berkata, “Kami berpuasa setelah itu. Dan kami mengajak anak-anak kami untuk berpuasa. Kami membuatkan pada mereka mainan dari bulu. Jika saat puasa mereka ingin makan, maka kami berikan pada mereka mainan tersebut. Akhirnya mereka terus terhibur sehingga mereka menjalankan puasa hingga waktu berbuka.” (HR. Bukhari no. 1960).
Hadits ini menunjukkan bahwa hendaklah anak-anak dididik puasa sejak mereka kuat. Jika mereka ‘merengek’ ingin berbuka padahal belum waktunya, maka hiburlah mereka dengan mainan sehingga mereka terbuai. Akhirnya mereka nantinya bisa menjalankan puasa hingga waktu Maghrib.
Penjelasan lengkap silahkan baca di: https://rumaysho.com/1857-memerintahkan-anak-untuk-berpuasa.html
3. berakal
syarat wajibnya puasa yang ketiga adalah berakal, tidaklah wajib puasa orang yang gila dan orang yang tidak punya akal.
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ.
“Telah diangkat pena dari tiga golongan: dari orang gila sampai ia sadar, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga ia baligh.”
4. mampu melakukan puasa.
syarat wajibnya puasa yang ke empat adalah mampu melakukan puasa, barangsiapa yang tidak mampu berpuasa karena sudah tua atau sebab lain, atau karena sakit maka tidak wajib berpuasa, namun jika memaksa tetap puasa maka puasanya sah.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185).
Sakit ada 3 jenis:
- Sakit yang tidak berpengaruh apabila berpuasa misalnya saja panu, kudis, bisul kecil yang diobati cukup dengan salep, maka insya allah tetap wajib berpuasa.
- Sakit yang jika berpuasa akan dirasa berat . sakit yang seperti ini boleh berpuasa ataupun berbuka.
- Sakit yang jika berpuasa akan membahayakan, maka haram hukumnya puasa
akan tetapi tetap sah puasa orang sakit jika dia memaksakan puasa.
Ada lagi orang yang sakit lama dan tidak lagi bisa diharapkan kesembuhannya, orang seperti ini hukumnya sama dengan orang tua yang sudah tidak sanggup lagi berpuasa yaitu membayar fidyah.
5. Musyafir.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185).
Akan tetapi jika seorang musyafir tetap berpuasa, maka puasanya sah.
Syafar ada 3 keadaan, yaitu:
- Puasa yang tidak berpengaruh. Artinya dia tidak merasa berat apabila tetap berpuasa, maka hukumnya boleh dia berpuasa dan boleh berbuka, akan tetapi menurut sebagian ulama akan lebih afdhol apabila berpuasa.
- Orang yang merasa berat apabila tetap berpuasa. Maka musyafir ini akan lebih baik berbuka lalu menggantinya di bulan yang lain.
- Seorang musyafir yang apabila berpuasa akan memudharatkan. Maka haram hukumnya berpuasa, karena allah melarang memudharatkan diri sendiri.
Akan tetapi tidak boleh jika itu adalah tipu daya terhadap syariat misalnya safar karena hanya ingin berbuka.
6. Tidak haidh dan nifas.
Syarat wajib puasa yang ke enam adalah khusus bagi kaum wanita yaitu tidak sedang haidh dan nifas, tidak wajib berpuasa bahkan haram.
Ulama sepakat puasa wajib maupun sunnah haram dilakukan wanita haid. Bila dia tetap berpuasa maka puasanya tidaklah sah. (Maratibul Ijma’, hal. 72)
Ibnu Qudamah t berkata, “Ahlul ilmi sepakat bahwa wanita haid dan nifas tidak halal untuk berpuasa, bahkan keduanya harus berbuka di bulan Ramadhan dan mengqadhanya. Bila keduanya tetap berpuasa maka puasa tersebut tidak mencukupi keduanya (tidak sah)….” (Al-Mughni, kitab Ash-Shiyam, Mas’alah wa Idza Hadhatil Mar’ah au Nafisat)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa wanita haid dan nifas tidak wajib shalat dan puasa dalam masa haid dan nifas tersebut.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 3/250)
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri z disebutkan bahwa Rasulullah n bersabda kepada para wanita yang mempertanyakan tentang maksud kurangnya agama mereka:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا
“Bukankah wanita itu bila haid ia tidak shalat dan tidak puasa?” Para wanita menjawab, “Iya.” Rasulullah berkata, “Maka itulah dari kekurangan agamanya.” (HR. Al-Bukhari no. 304)
Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ummul Mukminin Aisyah :
كاَنَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Dulunya kami ditimpa haid, maka kami diperintah mengqadha puasa dan tidak diperintah mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 321 dan Muslim no. 761)
Link Download Kitab al Muyassar
Kitab dalam bahasa arab terdiri dari 619 halaman file pdf sebesar 48 MB dapat sobat download secara gratis lewat tombol di bawah ini:
Posting Komentar